Skip to main content

Kewajiban Pemasangan Safety Valve pada Vessel

PP 11 tahun 1973 mengatur pengalihan kewenangan ( otorisasi ) dalam PENGATURAN, PEMBINAAN dan PENGAWASAN Keselamatan Kerja bidang MIGAS dari MENAKERTRANS kepada MENTERI PERTAMBANGAN DAN ENERGI ( ESDM ).
Dalam PP tersebut secara otomatis dasar pengaturan ( regulasi ) bidang keselamatan kerja MIGAS ada pada Menteri ESDM. Regulasi ESDM tersebut menjadi payung hukum bagi para pelaku MIGAS dari hulu sampai hilir ( termasuk pengaturan keselamatan kerja ). Jadi dalam pengaturan keselamatan kerja MIGAS mengacu pada UU MIGAS dan UU Keselamatan kerja dan PP 11 sebagai pengalihan kewenangannya.
  


Tanya - Crootth Crootth


Dear ALL,

Saya sudah membuka-buka semua peraturan MIGAS yang saya punya, namun saya tidak menemukan satu hal yakni kewajiban "pemasangan Safety Valve pada setiap pressure vessel" di Indonesia.

Pertanyaan saya adalah:
"Apakah betul memang tidak ada aturan MIGAS tentang kewajiban pemasangan Safety Valve pada setiap pressure vessel?"

Silahkan teman-teman yang memiliki landasan aturan untuk menjawab ini. Kalau memang ada aturannya, boleh saya diberitahukan  tentang no peraturannya dan lembaga mana yang mengekuarkannya?


Tanggapan 1 - rahmat ardiansyah


Pak coba lihat di STOOMORDONANTIE ANNO 1930 yang diterbitkan di Negeri Balanda....(maaf Pak hanya itu yang saya tau)


Tanggapan 2 - zaen@mmhe


Sebenarnya kawan kawan, untuk mewajibkan memasang safety ataupun relief valves blow dwon apalah namanya, Saya rasa dan saya pikir itu melalui process apakah tekanan yang di alirkan itu menjadi lebih besar dengan kapasitas vessel. Kalau ada kemungkinan lebih besar pressure nya maka akan timbul bagai mana mengamankan vessel tersebut.
Lalu kita pasang pengaman, safety, releif, atau blowdown valve. Bukan begitu Kang Darmawan. Ma'af barang kali ini boleh di pertimbangkan, dari pada cari dasarnya yang sangat susah.
Wallohu A'lam,


Tanggapan 3 - Crootth Crootth


Mas Zaen,

Kalau soal itung2annya saya tidak tanyakan disini, karena itu dengan  sangat mudah bisa dihitung (untuk case Oil and Gas, bukan sticky fluid or reacted liquid lho). Saya juga tidak ingin memasang sesuatu yang TIDAK diperlukan dipasang hanya demi menjamin rasa aman. Ingat semakin banyak PSV dipasang, semakin tinggi human error (menyangkut sertifikasi, maintenance, dan pengoperasian).

Yang saya tanya adalah dasar aturannya, karena setelah saya baca-baca lagi di Mijnordonantie 1930 juga tidak secara JELAS mewajibkan pemasangannya.

kesimpulan saya yah nurut ASME saja yang juga TIDAK mewajibkannya jika ada kepastian SIS nya mampu melindungi vessel tsb.

Atau saya salah tafsir terhadap Mijnordonantie 1930??

Best Regards,


Tanggapan 4 - W4hyu Safety wahyudho.prabowo


Cak DAM,
Mungkin peraturan dibawah ini bisa mewakili pertanyaan sampeyan Mugo-mugo cocok...:-))


*

PERATURAN

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI

NOMOR : PER. 01/MEN/1982

TENTANG

BEJANA TEKANAN
*
*

Pasal 9
*

(1) Bejana yang berisi gas atau gas campuran yang dapat menimbulkan tekanan melebihi (atmel) lebih tinggi dari yang diperbolehkan harus diberi tingkap pengaman atau alat pengaman sejenis yang dapat bekerja dengan baik.

(2) Bejana tekanan yang berisi gas atau gas campuran yang dikempa menjadi cair melarut atau menjadi padat dan gas yang dipanasi sampai melebihi 50°C, termasuk juga bagian dari pesawat pendingin yang dipanasi harus diberi tingkap pengaman, kecuali apabila telah terdapat pelat patah, atau alat yang dapat menunjukan dengan segera berat dari pada gas atau campuran gas yang berada di dalamnya.

(3) Tingkap pengaman tersebut harus bekerja bilamana tekanan melebihi lebih besar dari tekanan kerja yang diperbolehkan.

(4) Bejana tekanan yang berisi gas atau campuran dalam keadaan cair terlarut atau padat akan dipakai sesuai dengan pasal 22 ayat (2) sub e pada tekanan yang lebih rendah dari pada 2/3 dari tekanan percobaan (PI), terhadap botol-botol dan bejana transport untuk gas atau campuran seperti tersebut pasal 14 ayat (1) dan (5) kecuali ditetapkan pada ayat (5) pasal ini harus diberi tingkap pengaman.

(5) Bilamana karena sifatnya gas atau lain keadaan khusus tingkap pengaman tidak dapat dipergunakan, maka bejana yang bersangkutan harus diberi suatu pelat pengaman yang dapat pecah apabila meningkat sampai dengan 5/4 kali tekanan yang diperbolehkan.

(6) Semua alat pengaman dalam pasal ini seluruhnya harus bekerja dalam keadaan baik dan harus berhubungan langsung dengan bejana.


Tanggapan 5 - Crootth Crootth


Mas WAHYU

Terima kasih sekali atas respon cepatnya,

Namun saya ada beberapa catatan saya pribadi terhadap peraturan ini:

1. Peraturan Menteri Tenaga Kerja setahu saya tidak berlaku untuk Industri yang bergerak di bidang Migas (mohon Koreksi dari teman-teman), karena untuk bidang Migas wewenangnya ada pada Menteri ESDM

2. Yang dimaksud "tingkap pengaman atau alat pengaman sejenis" itu apa? apakah itu berarti relief valve atau Safety Instrumented System macam SDV berikut Sensor dan Logic Solvernya? yang saya tangkap (karena saya belum mendapatkan keterangan pengistilahannya) maka dia bisa berupa apa saja yang dapat melindungi Vessel

3. Terdapat klausul lain, sebagaimana Pasal 9 ayat 2: "kecuali apabila terdapat pelat patah (rupture disk???), atau alat yang dapat menunjukkan dengan segera berat daripada gas atau campuran gas yang berada di dalamnya (Pressure Safety Alarm System?? atau SIS??)" .

KESIMPULANNYA

"Perlindungan kelebihan tekanan pada bejana tekan TIDAK HARUS berupa Pressure Relief Valve (PRV) atau Pressure Safety Valve (PSV)"

Mohon teman teman yang lebih mahfum memberikan interpretasi lain.


Tanggapan 6 - x.sulistiyono@exxonmobil


Menteri Tenaga kerja mempunyai kewenangan terhadap kegiatan migas sebatas pada kewenangannya. Demikian juga menteri2 lain. Seperti dalam hal ketenaga kerjaan dan hal2 yang berhubungan dengan keselamatan para  pekerja dalam bidang migas. Oleh karena itu perusahaan2 migas harus meminta persetujuan dalam penggunaan  pekerja  asing . BP MIGAS maupun Ditjen Migas bias memfilternya terlebih dahulu, namun kata akhir tetap pada Depnaker. demikian juga mengenai keselamatan kerja, mereka memiliki kewenangan. Sementara itu Ditjen Migas sendiri bisa mengatur hal2 yang spesifik seperti pipeline dsb.
Demikian juga industri migas harus memenuhi ketentuan men LH untuk AMDAL, standard lingkungan dll. Jadi MenESDM hanyalah mengatur mengenai sesuatu yang spesifik untuk migas. Industri migas juga harus mengikuti aturan perpajakan dan aturan tender yang dikeluarkan oleh Men Keu . Industri migas juga harus minta izin untuk menggunakan atau mengadakan kegiatan di wilayah Kehutanan kepada Menhut Demikian seterusnya .
Mudah2an dapat menjadi koreksi Bapak.


Tanggapan 7 - Crootth Crootth


Dengan kata lain,

Untuk urusan pressure Vessel, Peraturan Menteri Tenaga Kerja tidak berlaku bukan??


Tanggapan 8 - Dirman Artib


Memang benar, setelah saya cek aturan Dirjen MIGAS no. 84.K/38/DJM/1998 yang sangat terkenal untuk SKPP/SKPI pun tidak mengatur hal ini. Walaupun untuk peralatan PV dan Safety Valve adalah 2 peralatan yg wajib untuk dinspeksi dan disertifikasi oleh Dir Jen MIGAS dengan proses yang terpisah.

Interpretasi saya, jika dokumen-dokumen (kalkulasi, gambar-gambar, analysis, dll) dari rencana/design & engineering yg tanpa safety valve telah lolos verifikasi (baca tidak ada komen tentang ini) yang dilakukan oleh authorized personnel dari MIGAS maka, ini akan compliance dengan aturan.


Tanggapan 9 - A Y E N D E


Dear,
  
  PP 11 tahun 1973 mengatur pengalihan kewenangan ( otorisasi ) dalam PENGATURAN, PEMBINAAN dan PENGAWASAN Keselamatan Kerja bidang MIGAS dari MENAKERTRANS kepada MENTERI PERTAMBANGAN DAN ENERGI ( ESDM ).
  
  dalam PP tersebut secara otomatis dasar pengaturan ( regulasi ) bidang keselamatan kerja MIGAS ada pada Menteri ESDM. Regulasi ESDM tersebut menjadi payung hukum bagi para pelaku MIGAS dari hulu sampai hilir ( termasuk pengaturan keselamatan kerja ). Jadi dalam pengaturan keselamatan kerja MIGAS mengacu pada UU MIGAS dan UU Keselamatan kerja dan PP 11 sebagai pengalihan kewenangannya.
  
  Ok, saya coba jelaskan mengenai "kewajiban pemasangan Safety valve pada Vessel"
  
  dalam tata urutan regulasi keselamatan kerja MIGAS klausul mengenai sistem pengaman pada bejana tekan ada pada :
  
  MPR 1930 Stbd 341 ( Mijn Politie Reglement ) :
  
  "Perlengkapan pekerjaan di atas tanah harus memenuhi syarat keselamatan kerja harus dilakukan perlindungan keselamatan kerja sedemikian rupa, sehingga sebanyak mungkin dapat dihindarkan bahaya pada lalu lintas atau pada pekerjaan." Pasal 13 MPR tahun 1930
  
 
  Ketel, bejana atau alat lain yang memuat gas atau udara yang bertekanan tinggi atau dicairkan dan dapat mengakibatkan bahaya peledakan harus dibuat sedemikian rupa, sehingga materialnya tidak dikenakan tekanan yang lebih tinggi daripada seperlima (1/5) tekanan pecah. Alat-alat tersebut apabila dianggap perlu dapat diperiksa atau diuji, dimana Kepala Pelaksana Inspeksi Tambang dapat memberikan ketentuan-ketentuan yang diperlukan, pada alat-alat tersebut harus dipasang perlengkapan untuk menjamin keselamatan pada penggunaannya, antara lain harus ada manometer dengan saluran cabang yang berhubungan dengan manometer kontrol, yang selalu berada dalam keadaan terpelihara diisi penuh dengan gas yang dicairkan. (PS 128 ayat 1)
  
  Pemisah gas bumi, pesawat pengumpul gas bumi dan minyak bumi dan pesawat pengangkutan gas bumi atau minyak bumi harus memenuhi pasal 227 huruf c dan mengenai bentuk, konstruksi dan ukuran diperhitungkan dengan tekanan tingi yang dapat timbul dalam pesawat tersebut dan jumlah gas bumi atau minyak bumi yang harus ditangani. Pesawat harus dilengkapi dengan alat yang dapat menghindarkan bahwa tekanan dalam pesawat menjadi terlalu tinggi. Pada pemisah gas bumi, maka gas bumi yang dikeluarkan harus sebanyak mungkin bebas minyak bumi. Pesawat dimana gas bumi atau zat cair dibawah tekanan harus dilengkapi dengan alat yang dapat dipasang manometer kontrol.
  
  
  Menurut PP 11 Tahun 1979 ( keselamatan kerja Pemurnian dan Pengolahan MIGAS )
  
  Pemasangan dan penggunaan kompresor, pompa vakum dan bejana tekan atu bejana vakum dan peralatannya harus memenuhi syarat-syarat yang tercantum dalam standar yang diakui oleh Menteri, kecuali apabila ditentukan lain dalam PP ini atau oleh kepala inspeksi (Ps 15 ayat 1)
  
  Pada kompresor, pompa vakum dan bejana tekan atau bejana vakum harus dipasang alat-pengaman yang selalu dapat bekerja dengan baik diatas batas tekanan kerja aman yang telah ditentukan untuk peralatan tersebut (Ps 15 ayat 4).
  
  Kondensor dan heat exchanger beserta perlengkapannya, baik untuk bagian-bagian cair atau gas dari minyak dan gas bumi ataupun zat-zat lain, termasuk yang bertekanan tinggi dan vakum, harus memenuhi syarat-syarat sebagaimana yang tercantum dalam standar yang diakui Menteri, kecuali bila ditentukan lain dalam PP ini atau oleh kepala inspeksi (Ps 20 ayat 1)
  
  Kondensor dan heat exchanger beserta perlengkapannya harus diperiksa secara berkala dan diuji kemampuannya menurut tatacara yang ditentukan oleh Kepala Inspeksi (Ps 20 ayat 2)
  
  Pada kondensor dan heat exchanger harus dipasang alat-alat pengaman yang selalu harus dapat bekerja dengan baik (Ps 20 ayat 3)
  
  
  Dari cuplikan aturan tersebut cukup dapat dipahami bahwa tidak terdapat ayat yang secara " eksplisit " menyebutkan adanya kewajiban memasang PSV/PRV pada setiap bejana tekan. Regulasi hanya mengatur adanya kewajiban untuk memasang sistem pengaman terhadap bejana tekan. Sistem pengaman yang tepat untuk dipilih diserahkan pada designer masing".
  
  Designer tentunya harus tetap mengacu pada standar yang diakui oleh menteri, dalam hal ini SNI bejana tekan bidang MIGAS, mengadop dari ASME Sect. VIII.( mungkin ada anggota SC 2 atau SC 7 mengomentari standarisasi bejana tekan ? )
  

Tanggapan 10 - Crootth Crootth


Terima Kasih Mas

Berarti lengkap sudah kesimpulan saya...

Pressure Vessel Harus dipasangi alat pengaman, tapi belum tentu itu Pressure Safety Valve, bisa saja alat pengaman lainnya (SIS, Rupture Disk, dsb)

Hal ini sesuai dengan perkembangan terakhir di dunia di mana ASME pun sudah mulai mengadopt IEC dan ISA tentang SIS yang DAPAT digunakan sebagai pengaman alternatif selain PSV.

Semoga kiranya steering committe SNI pressure vessel (SC 2 atau SC 7) tidak bergerak mundur dengan zakelijk mewajibkan pemasang PSV pada setiap pressure vessel.

Thanks


Tanggapan 11 - Achmad Dahlan


Selamat Pagi rekan semua....,

DAM bagaimana kabarmu? sorry aku baru baca emailmu mungkin  telat ngeresponnya. Kalau kamu tanya dinegara kita ada  tidak aturan Safety Valve di Pressure vessel? Sebanarnya  negara kita juga punya tapi versi 1982 yaitu :DECREE OF  THE MINISTER OF MANPOWER AND TRANSMIGRATION NUMBER:  PER-01/MEN/1982 "PRESSURE VESSEL".

Pemasangan Safety Valve ada disana memang tidak terlalu  detail menghitungnya.


Tanggapan 12 - Crootth Crootth


Dahlan kabarku baik....

Seperti biasa masih berkutat dari process design yang satu ke process design yang lain, dari process safety study satu ke process safety  study lain.

Pan udah dijelaskan oleh Mas Dirman Artib kalau aturan Mennaker diluar ketenagakerjaan tidak berlaku di Lingkungan Migas. Nah, Pressure Vessel kan  bukan hal tentang ketenagakerjaan ... bukan begitu.

ASME saja yang (honestly lebih saya percaya validitas/filosofi dasar pembuatan aturannya) lebih  fleksibel, dalam artian memberi ruang untuk opsi-opsi  pemasangan pressure vessel TANPA pressure safety valve (tentunya dengan SIS yang handal dan terverifikasi).  Nah kenapa aturan kita musti lebih rese??


Tanggapan 13 - Zulkifli.Ridhani@tripatra


Sedikit menambahkan,
sebenarnya tidak semua pressure vessel harus dipasangi PSV seperti kutipan  dibawah :

"A  PSV  need  not  be  provided  on  a  vessel if the  vessel is the  final  scrubber  in  a  flare,  relief,  or  vent  system;  and is  designed so that  back  pressure,  including  inertial  forces,  developed   at maximum  instantaneous  flow  conditions  will  not  exceed  the  working  pressure of the  lowest  pressure  rated  element;  and  has no  internal  or  external  obstructions,  such as mist  extractors, back  pressure  valves, or flame  arrestors." (API RP 14C)

Selain itu saya juga melihat di beberapa site ada pressure vessel yg tidak  dipasangi PSV, karena berfungsi seperti diatas. Dan ini juga bisa  diartikan bahwa goverment/MIGAS juga tdk mengharuskan pemasangan PSV pada  tiap vessel, tergantung fungsinya.

Btw, P' Dahlan apakah pernah nge"base" di Kartini 34?


Tanggapan 14 - Fakhri@biothane

Sedikit saja mau menambahkan

Karena PSV gunanya untuk memproteck kalau terjadi overpressure dan  pressure di upstream selalau lebih besar dari downstream (kalau  antara vessel tidak ada compressor)dan hazil HAZAOP  menyimpulkan 'tidak akan ada blokage', bukanya sudah common sense  bahwa vesel yg perlu di kasih PSV hanya yg di upstream yg di  downstream tidak perlu? Saya rasa ini tidak perlu merujuk si ASME,  API, MIGAS etc?

Comments

Popular posts from this blog

DOWNLOAD BUKU: THE TRUTH IS OUT THERE KARYA CAHYO HARDO

  Buku ini adalah kumpulan kisah pengalaman seorang pekerja lapangan di bidang Migas Ditujukan untuk kawan-kawan para pekerja lapangan dan para sarjana teknik yang baru bertugas sebagai Insinyur Proses di lapangan. Pengantar Penulis Saya masih teringat ketika lulus dari jurusan Teknik Kimia dan langsung berhadapan dengan dunia nyata (pabrik minyak dan gas) dan tergagap-gagap dalam menghadapi problem di lapangan yang menuntut persyaratan dari seorang insinyur proses dalam memahami suatu permasalahan dengan cepat, dan terkadang butuh kecerdikan – yang sanggup menjembatani antara teori pendidikan tinggi dan dunia nyata (=dunia kerja). Semakin lama bekerja di front line operation – dalam hal troubleshooting – semakin memperkaya kita dalam memahami permasalahan-permasalahan proses berikutnya. Menurut hemat saya, masalah-masalah troubleshooting proses di lapangan seringkali adalah masalah yang sederhana, namun terkadang menjadi ruwet karena tidak tahu harus dari mana memulainya. Hal ters...

Leak Off Test

Prinsipnya LOT (leak off test) dilakukan untuk menentukan tekanan dimana formasi mulai rekah. Tujuannya: 1. Menentukan MASP (Max. Allowable Surface Pressure). Yaitu batasan max surface pressure yg boleh kita terapkan selama drilling operation, tanpa mengakibatkan formasi rekah (fracture). 2. Dengan mengetahui MASP, berarti juga kita bisa mengetahui Max. mud weight yg boleh kita terapkan selama drilling operation, tanpa mengakibatkan formasi rekah (fracture). 3. Menentukan Kick Tolerance. Yaitu maximum kick size yg masih bisa kita tolerir untuk dihandle. Parameter ini nantinya juga berperan untuk menentukan depth casing shoe yang aman dari sudut pandang well control issue. 4. Mengecek kualitas sealing antara cement dengan casing Tanya - BGP HSESupv. BGP.HSESupv@petrochina Dear all Saat masih di rig dulu saya sering mendengar istilah leak off test. dimana step2nya kira kira sebagai berikut 1. Cementing Job 2. TSK ,masuk string dan bor kurang lebih 3 meter dibawah shoe. 3. dilakukan ...

Shutdown System

Apa yang membedakan antara PSD dan ESD? Secara umum keduanya berfungsi "membawa" sistem pemroses ke "keadaan yang lebih aman". Namun secara spesifik PSD lebih ditujukan kepada sebab sebab Process Specific seperti: Overpressure di bagian hilir kompressor, temperatur tinggi di heater untuk fuel gas, level yang terlau rendah di slug catcher, dst. Sementara ESD lebih ditujukan untuk menanggulangi dampak dari suatu kejadian yang sudah terjadi: misalnya gas yang telah bocor, kebakaran kecil di technical room, kebocoran minyak di pipeline, dst. Kedua jenis shutdown ini dapat pula dipicu oleh spurious trip atau gagalnya sistem shutdown tanpa sebab sebab yang diketahui dengan jelas. lebih rendah levelnya dari PSD ialah USD, atau Unit shutdown. Perlu dicamkan penamaan bisa berbeda beda antar company, misalnya ada yang menyebutnya sebagai ESD1, ESD2, ESD3 dan seterusnya, ada yang menyebutkannya sebagai ESD, PSD, USD dan seterusnya. Tidak penting, yang penting pahami betul fi...